Minggu, 26 Mei 2013

Si Rabin

Monolog                                                                                                          Karya Saini KM
Si Rabin
padma memasuki pentas dengan berjalan mundur dan seakan-akan masih mengawasi kalau-kalau ada orang yang menguntitnya, ia tampak ketakutan, setelah yakin tak ada orang yang menguntitnya ia melihat ke arah penonton dan nampak terkejut, ia tersenyum lega dan melihat ke arah pakaiannya yang kelihatan masih baru, akan tetapi warna-warninya tidak cocok satu sama lain.

            Aduh… rasanya terjatuh jantung saya! mengapa bapak dan ibu tidak menegur saya? wah, pasti bapak ibu pangling. memang. pasti saya berubah di mata ibu dan bapak. pasti! ibu bapak melihat sendiri pakaian saya lain, tapi tubuh saya kan masih yang dulu juga. walaupun tubuh saya memakai pakaian yang sepuluh kali lebih mahal dari ini, kan saya tetap bernama padma. benar bahwa saya tidak tinggal di gubug-gubug pinggir sungai di bawah jembatan; saya juga tidak lagi mencari punting sekarang. saya bukan gelandangan lagi, bukan tunawisma lagi dan juga bukan tuna karya. saya sudah mengontrak satu kamar, ya, cukup besar untuk berdua. kamar itu menghadap gang, dan saya juga jualan rokok di sana. bukan rokok murah, jangan salah sangka! perlu dunhill? gudang garam? dji sam soe? datanglah ke kios rokok padma di gang pahlawan! tidak percaya?
            Memang, tentu ibu dan bapak heran. ibu dan bapak bukannya tidak percaya, cuma pasti ingin tahu bagaimana si padma, yang dulu gelandangan itu sekarang menjadi begini. (melihat ke arah pakaiannya yang tidak serasi itu dengan bangga). bagaimana si padma yang dulu makan buangan di tempat sampah, sekarang bisa ngontrak kamar di gang pahlawan dan punya kios rokok! itu pasti mengherankan ibu dan bapak! mungkin timbul pikiran ibu bapak; merampok toko emas! kira-kira saja! jangan buruk sangka! tuhan itu adil; tuhan itu maha pengasih dan penyayang. si padma tidak perlu merampok dan menggarong! justru sebaliknya…. nanti dulu, saya tidak menangkap perampok, saya juga tidak membantu ppolisi menangkap perampok itu, bangsat itu! tidak! (diam sejenak, sambil terengah-engah) mereka bilang saya menunjukan tempat bajingan itu bersembunyi. mereka, gelandangan-gelandangan itu menuduh saya berkhianat pada bajingan, bangsat, perampok itu. tidak! saya tidak terima (diam sejenak. padma sadar bahwa emosinya meluap. ia tersenyum dan berusaha santai kembali).
            Wah, tentu ibu dan bapak ingin tahu, bagaimana duduk persoalannya. begini, ibu-ibu, bapak-bapak! pasti ibu dan bapak membaca koran bahwa seorang perampok, bangsat, bajingan besar yang namanya rabin telah tertembak dan mampus. itu benar! bajingan itu telah ditembak seperti seekor anjing kudisan, anjing gila! ia ditembak bukan dengan satu peluru, tapi dengan berpuluh peluru. tubuhnya berlubang-lubang sebanyak lubang di parut. saya melihat dengan kepala saya sendiri. dan itu cocok baginya. anjing gila seperti itu harus di bantai, dan polisi telah bertugas dengan baik! polisi telah mengirimkannya ke neraka!
            Memang, si rabin ini lebih cocok di neraka daripada di dunia, di tengah kita, di tengah ibu-ibu dan bapak-bapak. bayangkan saja, ibu-ibu dan bapak-bapak, ia telah merampok apotek, toko makanan dan minuman, toko pakaian, dan entah apalagi, hanya polisi yang tahu. dan semua itu dilakukannya dalam empat bulan semenjak ia menginjakkan kakinya di kota kita, di kota ibu-ibu dan bapak-bapak.
            Sebelum si rabin ini datang ke kota kita, ia bertransmigrasi ke kalimantan, ia lari dari kalimantan, katanya ia kecewa, karena di sana segala tidak sesuai dengan janji-janji, katanya tanah belum siap ditanami, jatah pungli dan semacamnya. omong kosong! fitnah! kalau berbakat jahat, maka ia adalah bandit. memang di hutan kalimantan tidak ada toko makanan yang bisa dirampok, apotik yang bisa digarong, toko pakaian yang bisa dibongkar. jadi dia kembali ke jawa, ke kota kita. ia pada suatu sore muncul di dekat jembatan, tempat saya tinggal dengan yang lain. ketika itu hujan gerimis dan ia berteduh, pakaiannya basah kuyup, ia duduk di atas buntalannya sambil memandang ke langit yang hitam, kebetulan si oti sedang menjeram air di kaleng besar. ketika si oti menawarinya air, ia tampak benar-benar kelaparan. ia meminum air dari segelas plastik seakan-akan tidak pernah minum seumur hidupnya. begitu rakus ia. ah, sebenarnya air itu harusnya dicampur endrin, atau apalah, supaya ia mampus saat itu juga. tapi itu tidak saya lakukan. soalnya saya tidak pernah curiga. pasti juga tidak menyangka, bahwa sebenarnya ia bandit. eh, lalu ia tidur di sana, di bawah jembatan tempat tinggal kami. dan empat bulan lamanya, sampai dia mampus, dia tinggal bersama kami.
            Baru dua minggu ia berada di antara kami, bakat merampoknya mulai kambuh. ketika itu seorang anak di bawah jembatan itu sakit. mula-mula tak ada yang bikin pusing. semuanya juga susah, bagaimana bisa memperhatikan anak orang lain yang sakit? tapi kemudian anak itu menangis sepanjang malam. keesokan harinya si rabin sibuk. dasar sok suka ngatur! pertama, ia minta ijin pada tukang sate agar di malam hari dia bisa mempergunakan bangkunya. dia berjanji pada tukang sate akan menyimpannya kembali. tukang sate setuju, mungkin karena takut atau karena mulut manis si rabin itu. jadi, malam hari, bangku tukang sate bisa dipergunakannya. kata si rabin, bangku itu perlu bagi anak yang sakit, karena di bawah jembatan terlalu lembab. omong kosong!tapi baiklah, si tukang ngatur ini kemudian meminta kepada kawan-kawan agar mereka suka mengumpulkan uang untuk membawa anak yang sakit itu ke dokter. bayangkan! usul untuk membawa anak gelandangan ke dokter! belum pernah ada pikiran seperti itu sebelumnya. di samping itu anak-anak gelandangan tidak boleh dimanjakan seperti itu. mereka harus hidup sebagai gelandangan atau mampus. dibawa ke dokter, pikiran macam apa itu?
            Eh, ternyata yang lain setuju. mereka mengumpulkan uang dan dapat seribu lima ratus lebih dari 20 orang. dari saya seratus perak dua puluh sen. lalu ia gendong anak itu pergi, diikuti oleh ibunya yang menangis, itu kira-kira jam empat siang. jam enam mereka kembali, tapi si rabin minta uang kembali. katanya untuk beli obat di apotek. berapa? coba terka. berapa? tujuh ribu lima ratus rupiah! itu gila! darimana uang sebanyak itu? emang saya ada simpanan, tapi kan saya punya rencana dengan si oti. jadi kesimpulannya uang itu tidak bisa dikumpulkan, walaupun si rabinmeminta sana-sini sambil menggendong anak sakit itu seperti anaknya. dasar tukang turut campur! ada terkumpul beberapa ratus perak, tapi jauh dari 7500, akhirnya si rabin membaringkan si anak itu di pangkuan bapaknya dan berkata, bahwa ia akan berusaha mendapat obat itu.
            Ketika malam turun, si rabin mengajak tiga kawan orang yang masih muda-muda. si tasjid, endun dan karta. mereka pulang larut malam. si rabin megambil obat-obatan yang siangnya dia tanyakan pada pegawai apotek. pantas si rabin teliti sekali bertanya pada petugas apotek seor harinya, kalau malamnya ia merampok. si amah, ibu anak yang sakit itu menceritakan kemudian, bahwa si rabin banyak sekali bertanya tentang rupa obat yang dibutukan anak sakit itu. nah, anak itu diobati dengan obat yang dicuri dari aoptek itu, lalu sembuh dalam tiga hari.
            Sejak itu, kalau ada persoalan, gelandangan-gelandangan itu selalu minta pendapat si rabin, padahal dia itu lebih muda dari saya, dan dia orang baru pula. eh, sialnya si rabin itu mau saja mereka anggap sebagai pemimpin. dia tidak tahu diri. dasar bandit! tampaknya dia senang kalau ada gelandangan minta pendapatnya, lalu dia sok suka menolong. dia tanya ini-itu, dia angguk-angguk kepala, lalu dia beri nasihat. gobloknya gelandangan-gelandangan itu mau saja percaya sama dia. dasar gelandangan!.
            Pada suatu hari toko-toko di kota tutup. saya lupa ada libur apa waktu itu. semua toko dan restoran tutup. itu berarti langkanya makanan. eeh, libur itu beberapa hari dan warung makanan yang buka pemiliknya pelit-pelit melulu. ibu bapak tahu, bahwa ada orang-orang yang lebih suka memberika makanan pada anjing atau kucing daripada kepada manusia. maka jelaslah bahwa kami yang biasanya setengah lapar menjadi benar-benar lapar. ibu-ibu dan bapak-bapak pasti belum merasakan apa sebenarnya lapar yang benar-benar lapar. tapi tidaklah perlu saya jelaskan, karena terlalu susah untuk dipahami. yang jelas anak-anak terus merengek sepanjang malam. sialnya, hujan terus menerus pula turun, keesokan harinya kami melihat sungai airnya membengkak. seekor bangkai ayam hanyut, seorang anak, dasar anak gelandangan, ia lari mengambilnya. yang lain berlarian meminta bagian. si rabin merebut bangkai ayam mati itu dan melemparkannya ke tengah-tengah arus yang sedang banjir. anak -anak itu terlalu kecewa dan bahkan ada yang marah. tapi si rabin bermulut manis itu membujuk mereka. katanya ia akan mengirimkan mereka makanan, asal mereka sabar. nanti malam, katanya. anak-anak tentu saja percaya dia, jangakan anak-anak, orang tua mereka saja percaya padanya. padahal ia orang baru dan jauh lebih muda. saya tidak mau mendekati mereka tapi saya tahu, mereka merencanakan kejahatan. betul saja. sorenya mereka berangkat. si rabin menyembunyikan linggis kecil dalam bajunya. gelandangan lain mendorong gerobak sampah yang biasa diparkir dekat jembatan. malam harinya, dekat subuh mereka datang. dari gerobak itu mereka keluarkan roti, kue kaleng, kornet dan banyak lagi. dan gelandangan-gelandangan itu pesta pora sampai subuh. saya cuma makan sedikit. saya ngaku. tapi itu pun karena si oti mengirimnya pada saya. walaupun lapar, kalau makanan curian tak enak. apalagi ketika si oti tanya pada saya: “ada apa sih kamu ini? kenapa suka merengut belakangan? tidak mau campur?” saya berhenti makan. saya letakan makanan itu di atas kertas bungkus semen cibinong.
            Jelas sekali ibu-ibu bapak-bapak. si rabin telah merampok toko makanan. itulah yang beritanya ditulis di koran-koran. tapi itu belum apa-apa dibanding perampokan-perampokan lain. diantaranya perampokan di bulan puasa itu. ibu-ibu, bapak-bapak membaca beritanya. ya, setelah perampokan toko makanan itu, para gelandangan makin taat, taat seperti anjing pada si rabin. dasar gelandangan! mereka selalu berkumpul mengelilinginya, terutama yang muda-muda. mereka tidak pernah melihat kami yang tua-tua dengan sebelah mata. ya, saya dianggap mereka tidak ada. padahal sayalah yang paling lama jadi penghuni bawah jembatan itu. padahal sayalah yang mengajar mereka tentang jalan-jalan di kota, menunjukan restoran yang banyak sisa makanannya, mengenalkan mereka pada bandar pembeli punting dan lain-lain lagi. tapi mereka tidak pernah punya rasa terima kasih. mereka menganggap saya tidak ada, tidak berarti lagi. dasar bajingan!.
            Nah, perampokan bulan puisi itu! rupanya waktu mereka berkumpul sambil membelakangi saya, mereka berunding tentang rencana perampokan toko pakaian. itu mereka lakukan kira-kira satu minggu lagi menghadapi lebaran. ya, saya mendengar si rabin berkata: “anak-anak harus berpakaian bagus. kasihan kalau mereka hanya menonton anak-anak yang lebih beruntung memakai pakaian baru di hari lebaran nanti” malam itu mereka berangkat, juga dengan linggis dan gerobak sampah yang mereka pinjam tanpa ijin dari kotamadya. mereka kembali beberapa waktu sehabis waktu makan sahur orang kota. malam itu juga mereka membagikan pakaian itu ke semua penghuni kolong jembatan yang jumlahnya lebih dari 30 orang, termasuk anak-anak kecil.
            Mulai malam itulah saya ada persoalan dengan si oti. dari gubug orang tuanya si oti datang ke gubug saya. ia membawa sebuah kemeja dan celana bagi saya. katanya pakaian itu sengaja dipilih si rabin bagi saya. saya menolaknya! saya bilang saya tidak mau! saya bilang saya tidak mau, sudah! eh malah dia nyindir. katanya jangan sok alim, jangan munafik, katanya, saya juga suka mencuri, mengapa tidak mau terima hadiah orang yang member dengan tulus ikhlas? bajingan! tulus ikhlas, katanya! memang saya juga mencuri, tapi tidak besar-besaran seperti si rabin. saya mencuri karena terpaksa, karena memerlukan. si rabin merampok, menggarong, membongkar karena ia perlu pujian. karena ia ingin merebut kedudukan saya sebagai sesepuh di kolong jembatan itu. makanya saya tolak hadiah terkutuknya itu. tapi si oti berbeda pendapat dengan saya. rupanya ia sudah kena bujuk si rabin pula. pasti! buktinya ia bertanya pada saya, katanya apa dia juga tak boleh terima hadiah  dari kak rabin? kak rabin katanya? saya balik tanya, kamu dapat? kamu dapat apa? ia jawab, saya dapat kain, kebaya, selendang dan rok katanya. buang! kata saya, eee…malah dia melongo. buang ke sungai! kata saya. dia tak mengatakan apa-apa. dia pergi lari ke dalam gelap, ke gubug orang tuanya. saya ambil kemeja yang ditinggalkannya, lalu saya lempar jauh-jauh, ke arah sungai. sejak itu si oti tidak pernah datang ke gubug saya, apalagi membuatkan air teh di kaleng mentega yang selalu ada di gubug saya.
            Beberapa hari setelah itu, pada suatu sore saya dengar si rabin berkata pada seseorang, “jangan dulu pakai baju itu, nanti kalau sudah lebaran. dan jangan pakai di sini” tiba-tiba saya sadar, bahwa polisi bisa saja melihat gelandangan dengan pakaian bagus dan jadi curiga. lalu saya ingat, bahwa di dalam gelap itu saya hanya membuang kemejanya ke dalam sungai, sedang celananya tetap di gubug saya. lalu saya bungkus celana itu dan saya keluar gubug dengan maksud jalan-jalan. saya keliling-keliling untuk beberapa lama sambil menjepit bungkusan berisi celana. kemudian saya memutuskan jalan-jalan ke depan kantor polisi. eh, di depan kantor polisi itu, tepat di kandang jaga, bungkusan saya jatuh. saya begitu takutnya, saya tidak mengambil bungkusan itu. malah saya mempercepat langkah saya. polisi jaga mengambil bungkusan itu, lalu memanggil saya. saya pura-pura tidak dengar. polisi itu berteriak, dan saya mau lari, ketika polisi itu mengancam. saya berhenti. polisi itu sudah memegang celana yang sudah tidak terbungkus dengan tangan kirinya. kamu mencuri ya!? kamu mencuri! tidak! kata saya gemetar. ini punya siapa? punya saya, pemberian! kata saya. sementara itu saya diseret, di bawa ke kantor polisi. di sana saya ditanya darimana saya mencuri celana itu. saya katakan itu pemberian. siapa yang member? saya katakan si rabin. dari mana si rabin dapat celana itu? saya katakan tidak tahu. lalu saya ditahan di kantor polisi itu. dan polisi itu berunding dan pergi. lalu datang lagi, lalu pergi lagi. tengah malam saya ditanyai lagi. sebagai orang jujur, sebagai orang baik-baik, saya berterus terang seperlunya. polisi tahu saya bukan orang jahat, keesokan harinya saya diperbolehkan pulang sesudah minum kopi dan roti bakar.
            Kami ada janji, maksud saya polisi dengan saya. mereka akan mengawasi kolong jembatan dan saya harus ada di sana dan memberi tahu kalau si rabin ada. saya tidak menjawab. saya diam untuk beberapa lama. saya katakan tidak tahu. kamu akan mendapat hadiah dari pemilik-pemilik toko, kata polisi. saya diam saja. baiklah, kata polisi, kami akan mengawasi dan kamu beri isyarat kalau si rabin muncul. lalu saya diijinkan pulang ke kolong jembatan.
            Siang itu, walaupun hari panas, saya tidak masuk gubug. saya berdiri di terali jembatan, memandang kea rah warung kopi. saya kemudian melihat beberapa polisi datang. mereka berpakaian preman. mereka terus memandang kepada saya. waktu si rabin muncul, mula-mula saya diam saja. waktu si rabin menuruni tebing sungai saya berpaling ke arah warung kopi. polisi-polisi itu serentak berdiri. mereka memandang pada saya, ketika itu mengusap rambut. seperti ini (padma mengusap rambut dengan telapak tangan kanan terbuka dan jari telunjuk menunjuk ke belakang) tiba-tiba para polisi itu berlarian menuju ke arah si rabin, “berhenti! kamu, berhenti!” si rabin berlari secepat kilat ke dalam kampong, dan polisi-polisi itu mengejarnya. tak berapa lama saya mendengar tembakan, berondongan di daerah perkampungan tepi sungai yang rumahnya penuh berdesakan. tiba-tiba seorang polisi memegang pangkal lengan saya. ikut saya, katanya. dengan gemetar saya ikut. di situ tepat di tengah-tengah kampong yang rumahnya berdesakan itu, sesosok mayat berlumuran darah terbaring di dekat sumur tua dekat pagar. muka mayat itu ditutup dengan koran. seorang polisi membuka koran itu dan bertanya pada saya “ini?” tanyanya, saya mengangguk.
            Baiklah, ibu-ibu, bapak-bapak. saya dibawa lagi ke kantor polisi. ketika dilepas, saya tidak balik ke bawah jembatan. saya cari rumah kontrakan, saya buka kios rokok. saya pikir sebagai orang baik-baik, tidak pantas saya hidup sendiri. pagi sebulan sesudah bandit itu mampus, saya si oti. saya menemuinya dekat jembatan itu. saya katakan padanya, saya sudah punya kamar untuk kami berdua, saya sudah punya kios rokok. eh, dia tidak menajwab. saya pegang tangannya dan saya katakan padanya bahwa dulu kami pernah membuat rencana. ia berpaling pada saya dan memandang penuh kebencian. “karena ada orang macam kamu, kita jadi gelandangan!” katanya. karena saya memegang pangkal lengannya, dia berusaha melepaskan diri. “lepaskan!” jeritnya. ketika itulah muncul gelandangan-gelandangan lain dari kolong jembatan. mereka memandang ke arah saya dan saya seakan-akan melihat bara di mata mereka. itulah sebabnya saya lari ke sini. saya merasa aman di tempat ini, di kampung orang baik-baik.
            Akh… lebih baik saya bersembunyi lebih jauh. mereka memang tidak akan berani melakukan apa-apa di tempat ini, tapi lebih baik saya menjauh. selamat sore ibu-ibu, bapak-bapak. (dengan cepat meninggalkan pentas, kemudian muncul kembali) maaf. kalau mereka bertanya, jangan katakan saya tinggal di jalan pahlawan. (meninggalkan pentas tergesa_gesa seperti orang yang sangat ketakutan).


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar