SEORANG
koruptor kakap mendadak muncul di kantor peradilan. Ia menyerahkan diri minta
ditangkap. Beberapa petugas jaga – yang sebagian lagi ngobrol sambil nonton
telenovela di televisi, dan sebagian lagi asyik main domino – langsung
tergeragap kaget.
‘’Tolong tangkap saya,’’
koruptor ternama itu kembali bicara sambil mengulurkan kedua tangannya
seolah-olah minta diborgol. Para petugas jadi
langsung gemeteran. Apa tidak salah? ‘’Saya ingin jadi koruptor yang baik dan
benar,’’ kata koruptor itu, sambil memandangi para petugas yang terheran-heran
- juga agak ketakutan.
Tentu saja peristiwa itu
langsung jadi berita besar. Puluhan wartawan segera mengerubungi sang koruptor.
Dan koruptor itu pun langsung memberikan pernyataan-pernyataannya.
‘’Saya ingin memberi contoh
kepada rekan-rekan koruptor lain, tak baik melarikan diri. Lebih baik duduk
tenang di pengadilan. Kalau pingin sembunyi, bukankah persembunyian paling aman
bagi koruptor justru ada di pengadilan. Kita nggak bakalan diperlakukan macam
maling ayam. Paling ditanyai sedikit-sedikit basa-basi minta bagian hasil
korupsi. Tak ada ruginya kalau kita berbagai rezeki sama hakim jaksa polisi.
Anggap saja zakat buat mereka. Toh itu juga bukan uang kita.’’
Sejenak
ia tersenyum, ketika kamera meng-close up wajahnya.
‘’Makanya
saya di sini, minta diadili. Saya tak hendak membantah. Itu urusan para
pengacara saya, karena untuk itulah mereka dibayar: membuat saya kelihatan tak
bersalah.’’
‘’Jadi
bapak tidak akan membantah kalau Bapak koruptor kakap?’’ cecar wartawan.
“Saya hanya
ingin meluruskan anggapan keliru, yang menyatakan koruptor macam saya tak lebih
benalu bangsa tak berguna. Koruptor macam saya jelas aset bangsa. Kamilah yang
menggerakkan roda perekonomian. Dengan korupsi uang jadi terdistribusi. Terjadi
pemerataan. Seperti pembangunan, korupsi juga terjadi di segala bidang. Kami
tak pernah menikmati buat sendiri. Kami ikut nyumbang pembangunan rumah ibadah,
menyantuni anak yatim, membantu korban bencana, menyokong olahraga, iuran
tujuhbelasan. Banyak. Karena sebagai koruptor yang baik, kami tahu cara
mengelabui. Dengan berbuat baik, kami menjadi dihormati. Duduk di depan bila
ada hajatan, dan diminta bicara di pengajian.’’
‘’Bagaimana
dengan para mahasiswa yang terus berdemonstrasi menuntut semua koruptor
dipenjarakan, Pak?’’
‘’Naif, bila
para mahasiswa terus menuntut koruptor di penjara. Nanti malah repot mesti bikin
buuanyak penjara. Karena 70% warga republik ini pasti akan masuk penjara.
Tidaklah itu hanya akan menghabiskan Anggaran Belanja Negara? Percayalah, biaya
memenjarakan koruptor jauh lebih tinggi ketimbang dana subsidi BBM yang
dialokasikan buat mengatasi kemiskinan. Jadi, memenjarakan koruptor itu justru
kontraproduktif bagi keuangan negara. Daripada uang dihambur-hamburkan
membangun penjara, lebih baik uang itu kami korupsi lalu kami bagi-bagikan
secara adil dan merata.”
Ia
tersenyum, begitu yakin.
‘’Itu namanya
korupsi yang adil dan beradab, sesuai Pancasila. Atau biar terdengar lebih
trendy: itulah prinsip demokrasi dalam korupsi. Sesuai trias politica, dalam
demokrasi mesti ada distribusi kekuasaan yang sama antara
eksekutif-legislatif-judikatif. Korupsi yang demokratis pun begitu:
eksekutif-legislatif-judikatif dapat kesempatan dan keuntungan yang sama.
Korupsi ibarat lokomotif demokrasi yang membawa gerbong-gerbong keuntungan dan
semua orang berebut ingin naik menikmati.
Karna itulah, memberantas korupsi
sama saja menggulingkan gerbong-gerbong demokrasi. Itu berbahaya. Bisa
menimbulkan keonaran para demonstran bayaran. Sebagai koruptor yang baik, tentu
saja saya tak ingin itu terjadi. Saya koruptor cinta damai.’’
“Tolong…,
jangan terlalu pojokkan kami. Kalau soal unjuk kekuatan, kami juga bisa
menggalang aksi besar-besaran. Pikirkan, bila seluruh koruptor di negeri ini
menggelar aksi mogok — 1 hari saja! Dari kantor kelurahan sampai Istana Negara,
pasti mendadak sepi. Pelayanan publik terhenti. Birokrasi macet. Pabrik-pabrik
tak berproduksi. Semua departemen kosong. Jangankan ngurus surat atau bikin KTP, WC Umum saja mungkin
nggak ada yang ngurusi. Karena semua koruptor mogok, seperti Lakon Lysistrata
ketika seluruh perempuan memboikot laki-laki. Kalian akan pusing sendiri.
Kalian akan melihat betapa berkuasanya kami. Kami ada di tiap sendi negeri ini.
Bagaimana cara kalian membasmi? Kalian seperti mengamputasi tubuh sendiri.’’
Kata-kata
itu bagai sihir yang mampu merenung semua yang hadir hingga terdiam.
‘’Karena itu,
marilah kita hidup rukun berdampingan dengan damai. Yang koruptor dan nggak
koruptor, apa sih bedanya? Emha Ainun Nadjib bilang, kesalahan hanyalah
kebenaran yang tertunda. Maka yang nggak korupsi pun hanya soal kesempatan yang
tertunda. Koruptor atau bukan, menyitir si jalang Chairil Anwar, semua akan
dapat tempat, semua akan dapat giliran.
Karena dari
pada itu, marilah kita mulai belajar menerima kenyataan, betapa korupsi memang
sudah menjadi suatu yang menyenangkan di republik ini. Anggap saja koruptor itu
sebagai bagian dari perekonomian kita: sudah numpuk utangnya, eh banyak pula
koruptornya. Atau ini ibarat kita masuk lokalisasi. Sudah bayar, terkena
rajasinga pula!’’
Terlihat
koruptor itu berdiri gagah, terlihat yakin dan mantap.
‘’Saya tidak malu mengakui kalau
diri saya memang koruptor. Saya malah bangga bisa mengaku begitu. Seperti
terlepas beban saya. Sekarang saya jadi bisa lebih rileks. Saya siap dihukum
dengan cara sebenar-benarnya…’’
Seluruh
negeri geger. Sebagian besar orang mencacimaki koruptor itu. Demonstrasi
menentangnya digelar. Tapi banyak juga yang memuja pikiran dan kejujurannya. Walhasil,
nama koruptor itu pun makin melambung, makin popular. Para pakar memandang
sinis, karena koruptor itu dianggap cari sensasi murahan.
‘’Saya tak
cari sensasi dengan semua ini,’’ katanya saat jadi narasumber talk show
di stasiun televisi. ‘“Saya justru ingin memberikan tauladan, bahwa koruptor
pun bisa menjadi seorang yang budiman. Kalau pun maling, dia maling yang
budiman. Seperti Robin Hood. Atau jadi Zoro, kalau sebagai koruptor kita kian
peduli pada wong cilik. Karena siapa lagi yang akan memperhatikan wong cilik?
Sebab partai-partai politik tak pernah mikirin nasib wong cilik yang
terus-menerus terpuruk dalam kemiskinan. Karena itulah, wahai para koruptor
yang beriman, marilah kita tingkatkan amal dan taqwa kita dengan membantu
negeri ini, supaya makin terbenam dalam keterpurukan dan kemiskinan lahir
batin. Negeri ini tak bisa diselamatkan, kecuali dengan mempercepat proses
pembusukan. Koruptor macam kita mesti mendukung proses itu. Bila tidak, negeri
ini akan terus nggak jelas seperti ini. Ini negeri seolah-olah, seperti
dikatakan Parakitri T Simbolon. Semuanya jadi serba seolah-olah dan
seakan-akan. Seolah-olah demokratis. Seolah-olah negeri hukum. Seolah-olah
agamawan. Seolah-olah intelektual. Seakan-akan menteri, padahal pengusaha.
Seakan-akan penyair, padahal setengah pengangguran. Tak heran, seorang yang
sudah resmi menyandang predikat koruptor pun, masih bisa berpenampilan tenang
penuh senyum mirip rohaniawan seperti saya.’’
‘’Anda
terlalu melebih-lebihkan,’’ potong moderator acara talk show itu dengan nada
marah. ‘’Anda juga seolah-olah menempatkan koruptor sebagai sesuatu yang
penting!’’.
Dengan kalem
koruptor itu menjawab. ‘’Marilah, mulai saat ini kita lebih menghargai koruptor
sebagai pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa tapi banyak harta yang berjasa
mempercepat proses pembusukan seluruh sampah negeri ini. Anggap saja ini proses
evolusi untuk menghasilkan pembuahan: munculnya tunas-tunas koruptor yang lebih
bertanggungjawab terhadap nasib bangsanya.’’
‘’Jadi
dengan menyerahkan diri, Anda merasa sudah bertanggungjawab, begitu?’’
‘’Terus terang, sebenarnya saya capek jadi buronan.
Itu merendahkan martabat saya. Seolah-olah saya ini penjahat sekelas Patroli
atau Buser. Makanya, lebih baik saya istirahat nyaman di penjara, ketemu
koruptor kolega-kolega saya lainnya. Kan
lebih enak begitu. Rukun, saling berbagai pengalaman. Kumpul bareng. Korupsi
tidak korupsi asal kumpul. Kalau semua rukun kan enak. Lihat, saya masih tetap sehat,
cuma kelihatan tambah kurang waras. Hanya saja, kadang saya tetap heran dengan
para aparat kita. Kenapa masih sungkan-sungkan menangkap koruptor kakap macam
saya? Ketika saya datang, mereka malah sembunyi. Barangkali para aparat hukum
itu memang benar-benar percaya, bahwa koruptor seperti saya ini memang asset
bangsa yang mesti dilindungi. Hingga, meskipun koruptor seperti saya sudah
berada di dalam penjara, masih saja terus diberi keleluasaan untuk secara
sistemik melakukan korupsi dengan baik dan benar, serta secara murni dan
konsekuen…”
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar